Welcome To My Blogger

Kilas Balik Krisis Ekonomi 1997 dan 1998



PENDAHULUAN
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase. Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Krisis ekonomi yang pada mulanya dipicu oleh krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 telah membuktikan bahwa perekonomian nasional tidak sekokoh seperti yang dibayangkan selama ini. Akibat krisis pendapatan per kapita telah terpuruk dari 980 $ US pada 1997 menjadi sekitar 500 $ US pada tahun 1999 atau menyamai tingkat pendapatan perkapita sekitar tahun 80-an. Artinya hasil pembangunan selama 30 tahun lebih sejak awal orde baru, telah dihancurkan hanya dalam waktu 2 tahun. Akibat krisis, laju pertumbuhan ekonomi nasional mesorot tajam dari 8.2 persen pada tahun 1995 menjadi -13.4 persen pada tahun 1998. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi akibat krisis moneter juga dialami oleh negara lain di kawasan Asia. Misal, pertumbuhan ekonomi Thailand dan Philipina masing-masing mengalami penurunan dari 4.8 persen dan 8.8 persen pada tahun 1995 menjadi -0.6 persen dan -8.0 persen pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya tidak banyak beda dengan sebelum krisis 1997/98 maupun krisis 2015. Bedanya justru pada saat krisis dan periode-periode sesudahnya. Krisis 1998 telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif, sedangkan dalam krisis 2015, pertumbuhan ke depan diperkirakan masih tetap positif,meski menurun. Tetapi hal ini tidak berarti karena fundamen ekonomi 2015 lebih baik dari fundamen ekonomi 1997. Bila pertumbuhan ekonomi 2016 masih diharapkan positif semata-mata karena krisis sekarang ini bukan krisis orisinal kita seperti tahun 1997/1998

PEMBAHASAN
SEJARAH KRISIS EKONOMI 1997-1998
Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Semua Negara praktis pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya krisis. Krisis ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam atau yang lebih dikenal dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih dikuasai kapitalis dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung kepada mekanisme pasar. Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut ekonomi berusaha diperbaiki dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis murni dalam perekonomian suatu Negara. Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).

Description: C:\Users\KLBPEE_SEKSI_I\Desktop\Small_FX_Thailand_US_10yrs.png
Sumber: Tambunan (1998)  pertukaran bath-dollar
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda nagara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar kolaps hingga membuat pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-), kurs rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Hal ini tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai Hiperinflasi. Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang pada awalnya indonesia merupakan Negara yang ekonominya paling tangguh di asia tenggara menjadi tidak berkutik akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari awal. KRISIS moneter Indonesia berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengembangkan mata uang Thailand Bath terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari Bath ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
          Sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak.
          Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFyh09sPUzPXYOGW9anaTNXyBGOYqDdEDw0Kx32oR12kTiQ_F6YCldnOF-8YHN9Jrxyi1QYj1UmEa5Wu7JNVmTFxhruUN3GQnptnJ4z4j-c2vuvpbG1spcFJpy9siCueYq-zfTkvQuIR4u/s400/Capture9.PNG
(Gambar 1)

          Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
          Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas band pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim band tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi 13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
          Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.

           Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
            Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya.
          Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke “mental herd” diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
            Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.

          Tetapi yang utama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.

KRISIS RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI

Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), 

“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)

            Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
            Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
            Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818
456
*Tahun anggaran

Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;

                World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
            Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.

Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
US$/100 Uang lokal 6/30’97
12/31’97
Perubahan (%)
6/30-12/31
5/8’98
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
Thailand
4,05
2,08
-48,7
2,59
24,7
-36
Malaysia
39,53
25,70
-35,0
26,25
2,1
-33,6
Indonesia
0,04
0,02
-44,0
0,01
-53,0
-73,8
Filipina
3,79
2,51
-33,9
2,54
1,3
-33,0
Hongkong
12,90
12,90
0,0
12,90
0,0
0,0
Korea Selatan
0,11
0,06
-47,7
0,07
21,9
-36,2
Taiwan
3,60
3,06
-14,8
3,10
1,2
-13,8
Singapura
69,93
59,44
-15,0
61,80
4,0
-11,6
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.

PENYEBAB UTAMA KRISIS EKONOMI

Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.

Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.      Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya.
2.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
3.      Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan. Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4.      Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
5.      Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997.
6.      Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.      Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
8.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk.
9.      Spekulan domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10.  Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.

          Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.

          Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.


Ada beberapa pendapat mengenai faktor-faktor penyebab krisis tersebut, antara lain :
1.      Ada sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
2.      Anwar Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis finansial.
3.      Ada kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria (1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya baik.
4.      Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
5.      Lepi T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam.

DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
            Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.
Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya. Disaat krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara. Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian. Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu di karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat.

USAHA-USAHA MENGATASI KRISIS EKONOMI
ü  Transparansi Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan  masyarakat.
ü   Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
ü  Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import. Hal ini seyogyanya dilarang.
ü  Pemerintah harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata uang Rupiah dan kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik. Hal ini memang tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
ü  Tabungan Nasional harus  digalakkan dan semua pihak harus mengetatkan ikat pingang khususnya kepada para pejabat Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar mempunyai rasa keprihatinan atas situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia dewasa ini. Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para pejabat Pemerintah. Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
ü  Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi secara ketat Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam mengelola dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
ü  Indonesia dengan jumlah penduduk  lebih 200 juta orang, rakyatnya lebih memerlukan terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan sehari-hari dari pada barang-barang import untuk keperluan konsumtif. Seyogyanya Pemerintah Indonesia mengatasi krisis ekonomi dewasa ini lebih meningkatkan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan rakyat dengan jalan memberikan subsidi atau kredit langsung kepada pengusaha kecil maupun penyalurannya melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Tidak sebaliknya disalurkan kepada para pengusaha besar / konglomerat yang selalu mempunyai masalah kredit macet. Apabila hal ini dilakukan berarti Pemerintah turut serta memperkokoh fondasi perekonomian yang langsung menyentuh kepentingan sebagian besar penduduk Indonesia. Pada masa orde baru umumnya kredit Pemerintah diberikan kepada hanya segelintir pengusaha besar (konglomerat) yang pada umumnya kredit itu dipergunakan untuk kepentingan kelompok/group perusahaannya sendiri ( termasuk hutangnya dari luar negeri ) yang umumnya dipergunakan untuk membangun hotel-hotel bintang lima, tourism-resort, mall/supermaket, gedung-gedung apartemen mewah,  perumahan-perumahan mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain sebagainya. Kesemua pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak. Krisis moneter  antara lain diakibatkan oleh besarnya hutang-hutang luar negeri swasta tersebut, dampaknya berakibat menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia. Hal ini seyogyanya jangan terjadi lagi karena lebih dari 90 % rakyat Indonesia tidak membutuhkan mata uang dollar untuk keperluan hidup sehari-hari.
ü  Indonesia adalah negara kepulauan, karena itu seyogyanya Pemerintah menggalakkan pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada membangun industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
ü  Proyek-proyek pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti pembangunan pabrik semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun masuk desa, irigasi dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
ü  Untuk mengatasi masalah perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik. Kemelut yang dihadapi perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan merger daripada dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital Adequate Ratio). Sebab apabila dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk kepentingan sesaat yang berakibat bank kurang kompetitif disamping memunculkan spekulasi rekap kedua.
ü  Peringatan IMF atas bahaya defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001 antara lain: Peningkatan PPh antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan antara   Rp. 10-20 T, Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T, Penggenjotan pemasukan dari BUMN dan BPPN sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi pembiayaan proyek pemerintah sebesar    Rp. 19 T. Langkah-langkah ini apabila berhasil dilakukan Pemerintah dapat menekan defisit anggaran walaupun bersifat sementara .
ü  Bank Indonesia dan bank-bank Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra hati-hati dalam menyalurkan kredit/penambahan modal kepada para pengusaha/konglomerat. Apalagi kalau jelas-jelas diketahui bahwa para pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan diduga turut serta terlibat dalam penyalahgunaan dana BLBI. Bank  Indonesia/bank Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyaluran kredit. Apabila ada  indikasi penyalahgunaan kredit bank (kredit macet) maka ke dua pihak baik penyalur maupun penerima kredit ke dua-duanya harus ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
ü  Pemerintah  hendaknya bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum pejabat dan para pelaku bisnis  apabila mereka terbukti melakukan korupsi  terhadap keuangan negara, pengadilan hendaknya tidak ragu-ragu  memberikan hukuman yang seberat-beratnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati kepada para pelaku mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi diperlukan sebagai shock terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang menjamur di Indonesia. Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah diakibatkan karena pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan  KKN.
ü  Seyogyanya Pemerintah RI dalam menyusun program pembangunan perekonomian Indonesia selalu mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), bukan sebaliknya untuk kepentingan para pengusaha. Disamping itu dalam rangka Otonomi Daerah Pemerintah Pusat hendaknya melakukan pengawasan yang ketat terhadap Pemerintah Daerah agar pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di Daerahnya tidak dirusak dan dikuras oleh para pengusaha. Contoh: Adanya keinginan dari Pemda Propinsi Kalimantan Selatan untuk menjadikan Hutan Lindung Pegunungan Meratus sebagai Hutan Produksi Terbatas. Apabila hal ini dilakukan mempunyai dampak lingkungan yang luas ( Ecological Disaster ) selain menimbulkan kerusakan hutan juga akan menimbulkan banjir besar pada musim hujan di daerah sekitarnya, termasuk banjir besar di sungai Barito Kalimantan Selatan

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS

            Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
            Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
            Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
            Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.
KRISIS EKONOMI 2015

Terlepas dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, Bank Dunia memprediksi terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun 2015, ditandai dengan anjloknya harga minyak bumi, menguatnya ekonomi Amerika, serta rendahnya suku bunga global. Bank Dunia juga memperkirakan naiknya GDP sebesar 4,8% (y/y), melebihi ekspektasi sebelumnya sebesar 4,4% (y/y).
Dalam release yang dikeluarkan oleh Global Economic Prospects, Bank Dunia mengatakan momentum pertumbuhan di negara-negara berkembang merupakan kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara global sebesar 3% (y/y), melebihi dari ekspektasi sebelumnya 2,6% (y/y). Meskipun geliat ekonomi di beberapa raksaka dunia seperti Jepang, Eropa, Russia serta Amerika Latin menunjukkan perlambatan, berbanding terbalik dengan akselerasi ekonomi Tiongkok, situasi ekonomi dunia masih akan terbantu dengan pergerakan menjanjikan yang datang dari negara-negara seperti Brazil, India, Indonesia, Afrika Selatah dan juga Turki dimana laju inflasi serta angka defisit diperkirakan akan terus menurun karena anjloknya harga minyak mentah dunia.
Negara-negara pengimport minyak seperti ini bisa menggunakan kesempatan rendahnya harga minyak bumi untuk mengimplementasikan reformasi struktur fiskal, yang pada gilirannya dapat mendorong laju tingkat pertumbuhan ekonomi untuk proyeksi jangka panjang, serta pembangunan domestik masing-masing negara.
Namun demikian khusus untuk Indonesia, satu hal yang perlu untuk dicermati adalah peringatan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dimana kebijakan moneter yang terlalu ketat bisa mengancam proses pemulihan ekonomi Indonesia yang masih rentan dengan krisis. Hal ini terlepas dari kebijakan pemerintah yang terus mendorong terjadinya reformasi secara struktural di setiap lapisan birokrasi. Masih menurut Bank Dunia, kondisi keuangan global bisa saja menjadi negatif karena negara-negara penghasil minyak dunia, akan mendapatkan pukulan telak akibat jatuhnya harga minyak. Ini akan mempengaruhi kebijakan fiskal mereka, yang nantinya akan beresiko kepada nilai tukar mata uang dan pada akhirnya menghantam neraca perdagangan yang pasti akan jomplang antara pendapatan ekspor dan hutang. Bagi Indonesia, pendapatan ekspor mengalami penurunan karena jatuhnya harga komoditi, sementara hutang swasta melonjak tajam sejak terjadinya krisis keuangan lalu.
Prediksi Bank Dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2015 tidak terlalu besar, terlepas dari terus bertambahnya investasi domestik. Menurut lembaga keuangan terbesar ini, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bertengger pada kisaran 5,2% (y/y), sedikit lebih tinggi dari perkiraan tahun 2014 sebesar 5,1%.
Sentimen positif muncul dengan target ambisius presiden Jokowi yang mengalokasikan dana besar pada RAPBN-P untuk sektor infrastruktur, dan di saat yang sama memangkas subsidi BBM. Namun demikian kebijakan ketat finansial ini bisa membuat naiknya suku bunga lokal, yang pada gilirannya akan memberikan tekanan pada industri perbankan, dunia usaha dan industri domestik dalam menetapkan kebijakan pembayaran hutang serta investasi. Seperti diketahui negara-negara yang memiliki hutang swasta besar, memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi.
Berdasarkan data terakhir, hutang domestik Indonesia berada pada angka US$ 294,5 miliar pada bulan Oktober 2014. Diketahui 54% dari total hutang tersebut (setara dengan US$ 161,3 miliar) tercatat dimiliki oleh sektor swasta.
Prediksi Bank Dunia Tentang Pertumbuhan Ekonomi January 2015:
Country/Region
2014E
2015F
2016F
World
2.6%
3.0%
3.3%
Emerging
4.4%
4.8%
5.3%
USA
2.4%
3.2%
3.0%
Eurozone
0.8%
1.1%
1.6%
China
7.4%
7.1%
7.0%
Japan
0.2%
1.2%
1.6%
Indonesia
5.1%
5.2%
5.5%
India
5.6%
6.4%
7.0%
Sumber riset: World Bank – (sam)

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER 2015
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15 Januari 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi Indonesia di 2014 dan prospek ekonomi 2015 dan 2016 menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tetap konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta mendukung pengendalian defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Selama 2014, di tengah tingginya sejumlah tantangan global dan domestik, kinerja perekonomian Indonesia relatif cukup baik dengan stabilitas makroekonomi yang terjaga dan proses penyesuaian ke arah yang lebih sehat, sejalan dengan kuatnya fundamental ekonomi dan berbagai kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Ke depan, perekonomian Indonesia diperkirakan semakin baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga, ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan semakin kuatnya reformasi struktural dalam memperkuat fundamental ekonomi nasional. Kebijakan Bank Indonesia tetap diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi, mengelola defisit transaksi berjalan yang sehat, serta menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, dan sistem pembayaran, serta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan serta mendorong berlanjutnya reformasi struktural untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Pengelolaan stabilitas makroekonomi nasional di 2014 perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) serta pemulihan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya dan tidak merata. Di satu sisi pemulihan ekonomi AS semakin solid, sementara pemulihan Eropa masih melambat. Di sisi lain, ekonomi Tiongkok juga dalam tren melambat, sementara ekonomi Jepang masih dalam resesi. Pemulihan ekonomi global yang melambat tersebut, yang disertai dengan penurunan harga minyak dunia seiring dengan melimpahnya pasokan minyak khususnya dari AS, pada gilirannya mendorong penurunan harga komoditas dunia secara signifikan. Meningkatnya ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter the Fed, terutama di paruh kedua 2014, yang disertai dengan penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia juga semakin meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia. Ke depan, pemulihan ekonomi negara maju, khususnya AS, diperkirakan akan terus berlanjut di 2015 sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia dari jalur perdagangan. Namun, sejumlah risiko eksternal masih akan menjadi tantangan bagi stabilitas makroekonomi nasional di 2015, khususnya tingginya volatilitas pasar keuangan global sejalan dengan kemungkinan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate di AS dan anjloknya harga komoditas dunia.

Sejalan dengan perlambatan ekonomi global dan kebijakan stabilisasi ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi domestik melambat pada tahun 2014. Perekonomian Indonesia tahun 2014 diprakirakan tumbuh sebesar 5,1%, melambat dibandingkan dengan 5,8% pada tahun sebelumnya. Dari sisi eksternal, perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh ekspor yang menurun akibat turunnya permintaan dan harga komoditas global, serta adanya kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Meskipun ekspor secara keseluruhan menurun, ekspor manufaktur cenderung membaik sejalan dengan berlanjutnya pemulihan AS. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan tersebut didorong oleh terbatasnya konsumsi pemerintah seiring dengan program penghematan anggaran. Sementara itu, kegiatan investasi juga masih tumbuh terbatas. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tetap solid. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi, yaitu tumbuh pada kisaran 5,4-5,8%. Berbeda dengan 2014, di samping tetap kuatnya konsumsi rumah tangga, tingginya pertumbuhan ekonomi di 2015 juga akan didukung oleh ekspansi konsumsi dan investasi pemerintah sejalan dengan peningkatan kapasitas fiskal untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, termasuk pembangunan infrastruktur.

Di tengah dinamika perekonomian global, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2014 membaik seiring dengan kebijakan stabilisasi yang dilakukan secara konsisten. Defisit transaksi berjalan diperkirakan menurun dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut di dukung oleh perbaikan ekspor manufaktur dan penurunan impor sejalan dengan permintaan domestik yang melemah, pergerakan nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya, dan penurunan harga minyak. Sementara itu, transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang cukup besar, ditopang oleh pertumbuhan positif investasi langsung (FDI) dan portofolio. Hal itu seiring dengan persepsi positif terhadap prospek ekonomi Indonesia dan imbal hasil yang tetap menarik. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Desember 2014 meningkat menjadi sebesar 111,9 miliar dolar AS atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah, di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit neraca transaksi berjalan diprakirakan tetap membaik. Turunnya harga minyak dunia dan reformasi subsidi Pemerintah akan memperbaiki defisit transaksi berjalan migas, walaupun meningkatnya impor nonmigas terkait dengan proyek Pemerintah di bidang infrastruktur agak menahan perbaikan defisit transaksi berjalan. Di sisi transaksi modal dan finansial, membaiknya fundamental ekonomi sejalan dengan reformasi struktural yang terus berlangsung mendorong arus modal masuk, baik FDI maupun investasi portfolio, yang diprakirakan masih cukup memadai bagi pembiayaan defisit transaksi berjalan.

Nilai tukar Rupiah di 2014 mengalami depresiasi terhadap dolar AS namun mencatat apresiasi terhadap mata uang mitra dagang utama lainnya. Depresiasi Rupiah terhadap dolar AS terjadi pada triwulan IV-2014 dikarenakan kuatnya apresiasi dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang utama sejalan dengan rilis data perbaikan ekonomi AS dan rencana kenaikan suku bunga Fed Fund Rate. Terhadap dolar AS, Rupiah secara point-to-point melemah 1,74% (yoy) selama tahun 2014 ke level Rp12.385 per dolar AS. Sementara itu, terhadap mata uang lainnya termasuk Yen Jepang, dan Euro, Rupiah mengalami apresiasi yang cukup tinggi, walaupun masih cukup kompetitif dibandingkan dengan negara mitra dagang. Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.

Inflasi pada tahun 2014 tetap terkendali di tengah tekanan yang tinggi dari administered prices dan volatile food. Inflasi 2014 tercatat 8,36% (yoy), lebih rendah dari 8,38% pada tahun sebelumnya dan berada di atas sasaran inflasi yang telah ditetapkan 4,5±1%. Kenaikan inflasi terutama disebabkan pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi dan dampak gejolak harga pangan domestik pada akhir tahun 2014. Kenaikan harga BBM bersubsidi telah mendorong kenaikan harga-harga, baik oleh dampak langsung maupun dampak lanjutan (second round effect). Selain BBM, penyesuaian harga barang administered lainnya juga terjadi sepanjang 2014, seperti TTL dan LPG. Namun, inflasi inti tetap terkendali 4,93%(yoy). Hal ini tidak terlepas dari peran kebijakan Bank Indonesia dalam mengelola permintaan domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi inflasi, serta semakin baiknya koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 4±1% pada tahun 2015, didukung oleh terkendalinya inflasi inti dan menurunnya harga minyak dunia yang diperkirakan akan memberikan sumbangan deflasi. Untuk memperkuat pencapaian sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah melalui TPI dan TPID, baik dalam mengendalikan inflasi pangan dan administered prices.

Stabilitas sistem keuangan tetap terkendali, ditopang oleh ketahanan perbankan yang tetap terjaga dan kinerja pasar keuangan yang membaik di 2014. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada November 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,0%. Pertumbuhan kredit diprakirakan sebesar 11,9% (yoy) pada November 2014, lebih rendah dari pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 22,2%(yoy). Bank Indonesia menilai perlambatan kredit tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pertumbuhan DPK pada November 2014 tercatat sebesar 13,8% (yoy) relatif tidak berubah dari tahun lalu. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan membaik seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang lebih ekspansif. Kedepan, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan DPK dan kredit diperkirakan akan meningkat sehingga mencapai, masing-masing, sebesar 14-16% dan 15-17%. Sementara itu, kinerja pasar modal juga membaik, tercermin pada IHSG yang meningkat 22,3% dibandingkan tahun lalu. Di sisi lain, yield SBN menunjukkan penurunan.

Ke depan, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2015 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Di bidang moneter, kebijakan akan tetap secara konsisten diarahkan untuk mengendalikan inflasi menuju sasarannya dan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sehat, melalui kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya. Di bidang makroprudensial, relaksasi ketentuan makroprudensial akan dilakukan secara selektif guna memperluas sumber-sumber pendanaan bagi perbankan sekaligus mendukung pendalaman pasar keuangan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif yang prioritas. Sementara itu, di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien. Berbagai kebijakan tersebut akan disertai dengan peningkatan koordinasi dengan Pemerintah dan institusi terkait sehingga stabilitas makroekonomi tetap terjaga, dengan struktur perekonomian yang semakin kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menjelaskan kebijakan moneter ketat yang diambil oleh bank sentral saat ini telah mempertimbangkan berbagai indikator makroekonomi, tak terkecuali pergerakan rupiah. Otoritas moneter masih akan mempertahankan kebijakan itu sampai inflasi dan neraca transaksi berjalan membaik.


"Kami ingin sampaikan bahwa kondisi (moneter) ketat yang sekarang ada, itu belum (akan) dilonggarkan apabila inflasi dan perkembangan (neraca) transaksi berjalan tidak mengarah ke kondisi yang baik," ujar Agus di Kantor Kepresidenan, Rabu (11/3) malam.

Mantan Menteri Keuangan itu mengklaim fundamental ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang lain. Hal itu tercermin dari aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air, terutama ke pasar obligasi negara.

"Pada tahun 2014, dana yang mengalir masuk ke Indonesia, untuk modal asing ke pasar surat berharga, itu sampai awal Maret itu ada Rp 47 trilun," tuturnya.
BI mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah melemah 5,7 persen sejak awal Januari hingga saat ini. Pelemahan tersebut lebih baik dibandingkan kejatuhan mata uang negara berkembang lain, seperti Brazil, India, dan Afrika Selatan.

"Year to date sampai Maret ini itu rupiah terdepresiasi 57 persen, tapi itu India (negatif) 16 persen dan Turki (minus) 17 persen, dan negara-negara Asean perkembangan pelemahan nilai tukar kita juga tidak lebih buruk dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura," jelasnya.
Agus melihat laju inflasi sudah pada jalur yang melandai dan diyakini akan mendekati 4 persen pada 2016.

PERKETATAN KEBIJAKAN MONETER

Mengantisipasi kenaikkan suku bunga The Fed, Fed Funds Rate (FFR) yang rencananya akan dilakukan pada pertengahan 2015, Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kebijakan moneter ketat dan melakukan pembenahan struktural.

“Kita nggak bisa harus melawan potensi capital outflow karena dolar akan kembali ke sekuritas-sekuritas dengan mata uang Amerika yang kuat. Makanya, kita mengupayakan supaya pelaku pasar itu confidence bahwa BI pemerintah bisa menangani ini dengan baik,” kata Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial BI Dwitya Poetra,  kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/4).

Ditegaskannya, BI memiliki kebijakan moneter dan makro prudensial yang cenderung ketat. Dalam hal ini, ungkapnya, BI akan menjaga supaya intereset rate diferensial dari suku bunga rupiah dan dolar AS bisa tetap menarik sehingga investor tidak punya motivasi untuk keluar dari Indonesia. 

Kemudian, lanjut dia, dari sisi pemerintah, rasa percaya diri telah ditunjukkan dengan melakukan rencana dan program perbaikan struktur, misalnya, perbaikan infrastruktur yang terkait dengan penciptaan sektor industri yang berorientasi ekspor. “Langkah ini agar tetap menjaga supaya investor dan pelaku bisnis asing di Indonesia tetap kerasan berinvestasi di Indonesia, makanya paket kebijakan dibuat,” tuturnya. 

Untuk antisipasi jangka pendek, ungkap Dwitya, yang dibutuhkan adalah bagaimana pemerintah bisa menjaga kepercayaan investor. Dari sisi kebijakan moneter, sambungnya, BI tetap concern terhadap upaya menjaga defisit, inflasi, serta mendorong sektor-sektor produktif agar terus berkembang. 

Selain itu, kata Dwitya melanjutkan, BI juga berupaya menjaga kondisi supply dan demand di pasar valas agar tidak terpengaruh dari interaksi politik. “Kalau isu politik bisa diperbaiki dengan baik, misalnya, persoalan Polri dan KPK, mungkin akan berdampak positif kepada investor asing,” tuturnya. 
Apalagi, menurutnya, indikator makro ekonomi Indonesia relatif baik. “Posisi produk domestik bruto (PDB) masih 5,19, laju inflasi 6,5, kondisi perbankan stabil, memang karena akun defisitnya saja yang 3,11 persen, tapi sebetulnya faktor makro ekonominya tidak terlalu berat,” tuturnya. n ed: nidia zuraya.

REFERENSI
http://safitrifitrieka.blogspot.com/2012/04/terjadinya-krisis-moneter.html
http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
http://almareza-almareza.blogspot.com/2010/10/krisis-ekonomi-1997-1998-indonesia.html
http://akbarprakoso.blogspot.com/2012/04/krisis-ekonomi-penyebab-dan-usaha.html

Note 
Artikel ini adalah tugasPerekonomian Indonesia
Share:

Ad Code

Ads 728x90

Recents in Beach

3/Beach/post-list

BTemplates.com