PENDAHULUAN
Sejak
kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase. Salah satunya adalah zaman
pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia
berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan
negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke
Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari
kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat
inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa
orde lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni
Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.
Namun
disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan
orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat
pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan
fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi
sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia
terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya
rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.
Sejak
berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan
tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada
tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis
sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan
mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor
perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun
politik.
Faktor-faktor
yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis
ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Krisis
ekonomi yang pada mulanya dipicu oleh krisis moneter sejak pertengahan tahun
1997 telah membuktikan bahwa perekonomian nasional tidak sekokoh seperti yang
dibayangkan selama ini. Akibat krisis pendapatan per kapita telah terpuruk dari
980 $ US pada 1997 menjadi sekitar 500 $ US pada tahun 1999 atau menyamai
tingkat pendapatan perkapita sekitar tahun 80-an. Artinya hasil pembangunan
selama 30 tahun lebih sejak awal orde baru, telah dihancurkan hanya dalam waktu
2 tahun. Akibat krisis, laju pertumbuhan ekonomi nasional mesorot tajam dari
8.2 persen pada tahun 1995 menjadi -13.4 persen pada tahun 1998. Penurunan laju
pertumbuhan ekonomi akibat krisis moneter juga dialami oleh negara lain di
kawasan Asia. Misal, pertumbuhan ekonomi Thailand dan Philipina masing-masing
mengalami penurunan dari 4.8 persen dan 8.8 persen pada tahun 1995 menjadi -0.6
persen dan -8.0 persen pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebenarnya tidak banyak beda dengan sebelum krisis 1997/98 maupun krisis 2015. Bedanya justru pada saat krisis dan
periode-periode sesudahnya. Krisis 1998 telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
negatif, sedangkan dalam krisis 2015, pertumbuhan ke depan diperkirakan masih
tetap positif,meski menurun. Tetapi hal ini tidak berarti karena fundamen
ekonomi 2015 lebih baik dari fundamen ekonomi 1997. Bila pertumbuhan ekonomi
2016 masih diharapkan positif semata-mata karena krisis sekarang ini bukan
krisis orisinal kita seperti tahun 1997/1998
PEMBAHASAN
SEJARAH
KRISIS EKONOMI 1997-1998
Krisis
ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu
peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Semua Negara praktis
pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena
krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek yang akan menyebar
keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis moneter merupakan hasil
dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada sistem pasar yang ada.
Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya krisis. Krisis
ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam atau yang lebih dikenal
dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih dikuasai kapitalis
dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung kepada mekanisme pasar.
Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut ekonomi berusaha diperbaiki
dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis murni dalam perekonomian suatu
Negara. Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi
ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti
dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang
mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja
pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam
dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun
1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan
oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan
diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping
itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif
dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia
pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis
kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan
karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun
1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi
devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan
September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari
deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk
memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk
menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit
(Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi
krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir,antara
tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu
ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi
nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju
pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari
pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian
Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat
spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Sumber:
Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar
Dari
tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana
hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli
1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei
1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat
para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi
terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand.
Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand
melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada
tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath
dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan
nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni
28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia
tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia
lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi
seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar
AS.
Krisis
moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara
Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika
krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai
dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan
Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah
terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi
mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar
negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan
perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang
tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar),
kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang
telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin
jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi
tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang
dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang
yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Yang
pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda nagara-negara Asia
Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar kolaps hingga membuat
pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-), kurs rupiah melemah
terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Hal ini
tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan banyak
industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran yang
sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai Hiperinflasi.
Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang pada awalnya indonesia merupakan
Negara yang ekonominya paling tangguh di asia tenggara menjadi tidak berkutik
akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia yang sudah mulai memasuki tahap
lepas landas harus kembali mengulang dari awal. KRISIS moneter Indonesia
berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk
mengembangkan mata uang Thailand Bath terhadap Dollar US. Selama itu mata uang
Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap.
Devaluasi mendadak dari Bath ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang
Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun
dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi
karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja
yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi
seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang
dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara
besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari
krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah,
perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang
besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
(Gambar
1)
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal
terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal
1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami
kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah,
inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di
negara ini.
Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang
terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas band
pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa
melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim band tersebut. Rupiah
langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah
terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam
setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di
pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama.
Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam
dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi
Indonesia merosot menjadi 13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun
sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter
Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai
terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur
ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang
dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena
ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat.
Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan
di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank
Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998
dan B.J. Habibie menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari
aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan
memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged
menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari
resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat
Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah
memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada
1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata
uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik
nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan
menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997
dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia
Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan
kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan
Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding
dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini
telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik
yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan
keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis
dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik
dalam pasar finansial yang menuju ke “mental herd” diantara investor yang
memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan
keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini,
Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating
yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang
nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar
semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari
rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari
1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000
awal Mei 1999.
Tetapi yang utama karena utang swasta luar negeri
yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam
negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat
tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap
dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah
besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat
banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan
mengalami krisis. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai
faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.
KRISIS RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI
Indonesia
merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian
disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar.
Seperti diungkapkan oleh Haris (1998),
“Krisis ekonomi yang dialami
Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru.
Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta
menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh
lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor
menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama
lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial.
Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan
Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya
di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus
meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam
negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di
dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan
ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan
pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di
negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar
valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh
otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas
pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah
terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998),
krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan
pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk
diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun
itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak
perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan
sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi
Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank
Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar
dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan
ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat
Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca
pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca
perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca
berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca
modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah
(neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta
(neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA
(neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan
devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan
impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service
ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai
tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN*
(Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun
anggaran
Sumber
: BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai
rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per
dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah
turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami
penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode
Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada
bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per
dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan
kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan
Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998,
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang
Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
|
US$/100
Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan
(%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan
(%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan
Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea
Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber
:Goldstein (1998)
Sebagai
konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan
intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh
kekuatan pasar.
PENYEBAB UTAMA KRISIS EKONOMI
Penyebab
utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor
satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi
pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1. Dianutnya
sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya.
2. Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah
dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif
lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam
negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
3. Akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Ada tiga pihak yang bersalah di
sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena
telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai
rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga
pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing
menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan
tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau
mendepositokan dananya dalam rupiah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak
melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang
berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Pihak kreditur
luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman
dan salah mengantisipasi keadaan. Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar
negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4. Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan
devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading,
yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa
ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor
riil.
5. Kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar
rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini
dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997.
6. Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai
tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor
menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7. Penanam
modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
8. IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia
juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk.
9. Spekulan
domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan
dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10. Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli
dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah
lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi
selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat
untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang
terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi
oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan
rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh
BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek
IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan
kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor
riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan
antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang
tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung.
Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi
ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja
perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri
terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas
sosial dan politik.
Ada
beberapa pendapat mengenai faktor-faktor penyebab krisis tersebut, antara lain
:
1. Ada
sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan
Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama
suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari
Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan
terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas
normal.
2. Anwar
Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya
krisis finansial.
3. Ada
kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria
(1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi
karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental
ekonomi atau pasarnya baik.
4. Bank
Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju
kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara
lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun
1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk
kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir
adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan
mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
5. Lepi
T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam.
DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang
menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat
itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif
yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada
tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir
tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun
kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah
tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap
Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat
membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan
hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau
menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri
melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan
barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada
akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan
berarti biaya hidup semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif.
Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar
negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis
asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian,
proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca
berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil
Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit
usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan
mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah.
Namun
secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih
besar dari dampak positifnya. Disaat krisis itu terjadi banyak pejabat yang
melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja yang lain.
Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan
tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara. Pada
sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara umum impor
barang menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya
saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat
sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis
pertanian. Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative
dibandingkan dampak positifnya. Itu di karenakan krisis ini mengganggu
kesejahteraan masyarakat.
USAHA-USAHA
MENGATASI KRISIS EKONOMI
ü Transparansi
Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat
diperlukan agar mendapat kepercayaan masyarakat.
ü Meningkatkan accountability pengelolaan
sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
ü Meningkatkan
export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif
termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import.
Hal ini seyogyanya dilarang.
ü Pemerintah
harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata uang Rupiah dan
kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik. Hal ini memang
tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
ü Tabungan
Nasional harus digalakkan dan semua pihak harus mengetatkan ikat pingang
khususnya kepada para pejabat Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar mempunyai
rasa keprihatinan atas situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan Negara
Indonesia dewasa ini. Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para pejabat
Pemerintah. Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan
pribadi atau golongan.
ü Pemerintah
dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi secara ketat
Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam mengelola
dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
ü Indonesia
dengan jumlah penduduk lebih 200 juta orang, rakyatnya lebih memerlukan
terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan sehari-hari dari pada barang-barang
import untuk keperluan konsumtif. Seyogyanya Pemerintah Indonesia mengatasi
krisis ekonomi dewasa ini lebih meningkatkan hasil produksi pertanian,
perkebunan, dan peternakan rakyat dengan jalan memberikan subsidi atau kredit
langsung kepada pengusaha kecil maupun penyalurannya melalui Koperasi Unit Desa
(KUD). Tidak sebaliknya disalurkan kepada para pengusaha besar / konglomerat
yang selalu mempunyai masalah kredit macet. Apabila hal ini dilakukan berarti
Pemerintah turut serta memperkokoh fondasi perekonomian yang langsung menyentuh
kepentingan sebagian besar penduduk Indonesia. Pada masa orde baru umumnya kredit
Pemerintah diberikan kepada hanya segelintir pengusaha besar (konglomerat) yang
pada umumnya kredit itu dipergunakan untuk kepentingan kelompok/group
perusahaannya sendiri ( termasuk hutangnya dari luar negeri ) yang umumnya
dipergunakan untuk membangun hotel-hotel bintang lima, tourism-resort,
mall/supermaket, gedung-gedung apartemen mewah, perumahan-perumahan
mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain sebagainya. Kesemua
pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Krisis moneter antara lain diakibatkan oleh besarnya hutang-hutang luar
negeri swasta tersebut, dampaknya berakibat menimbulkan penderitaan rakyat
Indonesia. Hal ini seyogyanya jangan terjadi lagi karena lebih dari 90 % rakyat
Indonesia tidak membutuhkan mata uang dollar untuk keperluan hidup sehari-hari.
ü Indonesia
adalah negara kepulauan, karena itu seyogyanya Pemerintah menggalakkan
pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada membangun
industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang tidak
menyentuh kepentingan rakyat banyak.
ü Proyek-proyek
pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti pembangunan pabrik
semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun masuk desa, irigasi
dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
ü Untuk
mengatasi masalah perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik. Kemelut
yang dihadapi perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan merger
daripada dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital Adequate Ratio).
Sebab apabila dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk kepentingan sesaat yang
berakibat bank kurang kompetitif disamping memunculkan spekulasi rekap kedua.
ü Peringatan
IMF atas bahaya defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep Pemerintah
untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001 antara lain:
Peningkatan PPh antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan
antara Rp. 10-20 T, Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T, Penggenjotan
pemasukan dari BUMN dan BPPN sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi pembiayaan
proyek pemerintah sebesar Rp. 19 T. Langkah-langkah ini
apabila berhasil dilakukan Pemerintah dapat menekan defisit anggaran walaupun
bersifat sementara .
ü Bank
Indonesia dan bank-bank Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra
hati-hati dalam menyalurkan kredit/penambahan modal kepada para
pengusaha/konglomerat. Apalagi kalau jelas-jelas diketahui bahwa para
pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan diduga turut serta terlibat dalam
penyalahgunaan dana BLBI. Bank Indonesia/bank Pemerintah harus
bertanggung jawab atas penyaluran kredit. Apabila ada indikasi
penyalahgunaan kredit bank (kredit macet) maka ke dua pihak baik penyalur
maupun penerima kredit ke dua-duanya harus ditindak tegas sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
ü Pemerintah
hendaknya bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum pejabat dan para pelaku
bisnis apabila mereka terbukti melakukan korupsi terhadap keuangan
negara, pengadilan hendaknya tidak ragu-ragu memberikan hukuman yang
seberat-beratnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati kepada para
pelaku mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi diperlukan sebagai
shock terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang menjamur di
Indonesia. Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah diakibatkan
karena pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan KKN.
ü Seyogyanya
Pemerintah RI dalam menyusun program pembangunan perekonomian Indonesia selalu
mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), bukan sebaliknya
untuk kepentingan para pengusaha. Disamping itu dalam rangka Otonomi Daerah
Pemerintah Pusat hendaknya melakukan pengawasan yang ketat terhadap Pemerintah
Daerah agar pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di Daerahnya
tidak dirusak dan dikuras oleh para pengusaha. Contoh: Adanya keinginan dari
Pemda Propinsi Kalimantan Selatan untuk menjadikan Hutan Lindung Pegunungan
Meratus sebagai Hutan Produksi Terbatas. Apabila hal ini dilakukan mempunyai
dampak lingkungan yang luas ( Ecological Disaster ) selain menimbulkan
kerusakan hutan juga akan menimbulkan banjir besar pada musim hujan di daerah
sekitarnya, termasuk banjir besar di sungai Barito Kalimantan Selatan
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN
PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini.
Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai
menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah,
tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF.
Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan
masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari
setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial
(Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan,
terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter),
restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani
bersama.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran
berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan
subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar,
dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan
fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh
Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang
ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain,
kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang
terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan
untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri
dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social
safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian
diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada
tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks.
Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang
sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat
restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural
untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk
mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah
mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga
ekspor bangkit kembali.
Sedangkan
ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga,
pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah,
reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang
swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.
KRISIS EKONOMI 2015
Terlepas
dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, negara dengan ekonomi terbesar
kedua di dunia, Bank Dunia memprediksi terjadinya percepatan pertumbuhan
ekonomi di sepanjang tahun 2015, ditandai dengan anjloknya harga minyak bumi,
menguatnya ekonomi Amerika, serta rendahnya suku bunga global. Bank Dunia juga memperkirakan
naiknya GDP sebesar 4,8% (y/y), melebihi ekspektasi sebelumnya sebesar 4,4%
(y/y).
Dalam
release yang dikeluarkan oleh Global Economic Prospects, Bank Dunia mengatakan
momentum pertumbuhan di negara-negara berkembang merupakan kunci untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi secara global sebesar 3% (y/y), melebihi dari ekspektasi
sebelumnya 2,6% (y/y). Meskipun geliat ekonomi di beberapa raksaka dunia
seperti Jepang, Eropa, Russia serta Amerika Latin menunjukkan perlambatan,
berbanding terbalik dengan akselerasi ekonomi Tiongkok, situasi ekonomi dunia
masih akan terbantu dengan pergerakan menjanjikan yang datang dari
negara-negara seperti Brazil, India, Indonesia, Afrika Selatah dan juga Turki
dimana laju inflasi serta angka defisit diperkirakan akan terus menurun karena
anjloknya harga minyak mentah dunia.
Negara-negara
pengimport minyak seperti ini bisa menggunakan kesempatan rendahnya harga
minyak bumi untuk mengimplementasikan reformasi struktur fiskal, yang pada
gilirannya dapat mendorong laju tingkat pertumbuhan ekonomi untuk proyeksi
jangka panjang, serta pembangunan domestik masing-masing negara.
Namun
demikian khusus untuk Indonesia, satu hal yang perlu untuk dicermati adalah
peringatan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dimana kebijakan moneter yang
terlalu ketat bisa mengancam proses pemulihan ekonomi Indonesia yang masih
rentan dengan krisis. Hal ini terlepas dari kebijakan pemerintah yang terus
mendorong terjadinya reformasi secara struktural di setiap lapisan birokrasi.
Masih menurut Bank Dunia, kondisi keuangan global bisa saja menjadi negatif
karena negara-negara penghasil minyak dunia, akan mendapatkan pukulan telak
akibat jatuhnya harga minyak. Ini akan mempengaruhi kebijakan fiskal mereka,
yang nantinya akan beresiko kepada nilai tukar mata uang dan pada akhirnya
menghantam neraca perdagangan yang pasti akan jomplang antara pendapatan ekspor
dan hutang. Bagi Indonesia, pendapatan ekspor mengalami penurunan karena
jatuhnya harga komoditi, sementara hutang swasta melonjak tajam sejak terjadinya
krisis keuangan lalu.
Prediksi
Bank Dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2015 tidak
terlalu besar, terlepas dari terus bertambahnya investasi domestik. Menurut
lembaga keuangan terbesar ini, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan
bertengger pada kisaran 5,2% (y/y), sedikit lebih tinggi dari perkiraan tahun
2014 sebesar 5,1%.
Sentimen
positif muncul dengan target ambisius presiden Jokowi yang mengalokasikan dana
besar pada RAPBN-P untuk sektor infrastruktur, dan di saat yang sama memangkas
subsidi BBM. Namun demikian kebijakan ketat finansial ini bisa membuat naiknya
suku bunga lokal, yang pada gilirannya akan memberikan tekanan pada industri
perbankan, dunia usaha dan industri domestik dalam menetapkan kebijakan
pembayaran hutang serta investasi. Seperti diketahui negara-negara yang
memiliki hutang swasta besar, memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi.
Berdasarkan
data terakhir, hutang domestik Indonesia berada pada angka US$ 294,5 miliar
pada bulan Oktober 2014. Diketahui 54% dari total hutang tersebut (setara
dengan US$ 161,3 miliar) tercatat dimiliki oleh sektor swasta.
Prediksi
Bank Dunia Tentang Pertumbuhan Ekonomi January 2015:
Country/Region
|
2014E
|
2015F
|
2016F
|
World
|
2.6%
|
3.0%
|
3.3%
|
Emerging
|
4.4%
|
4.8%
|
5.3%
|
USA
|
2.4%
|
3.2%
|
3.0%
|
Eurozone
|
0.8%
|
1.1%
|
1.6%
|
China
|
7.4%
|
7.1%
|
7.0%
|
Japan
|
0.2%
|
1.2%
|
1.6%
|
Indonesia
|
5.1%
|
5.2%
|
5.5%
|
India
|
5.6%
|
6.4%
|
7.0%
|
Sumber
riset: World Bank – (sam)
TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER 2015
Rapat Dewan Gubernur (RDG)
Bank Indonesia pada 15 Januari 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate
sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga
Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Evaluasi
menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi Indonesia di 2014 dan prospek ekonomi
2015 dan 2016 menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tetap konsisten dengan upaya
untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta
mendukung pengendalian defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.
Selama 2014, di tengah tingginya sejumlah tantangan global dan domestik,
kinerja perekonomian Indonesia relatif cukup baik dengan stabilitas
makroekonomi yang terjaga dan proses penyesuaian ke arah yang lebih sehat,
sejalan dengan kuatnya fundamental ekonomi dan berbagai kebijakan stabilisasi
ekonomi dan reformasi struktural yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah.
Ke depan, perekonomian Indonesia diperkirakan semakin baik, dengan pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga,
ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan semakin kuatnya reformasi struktural
dalam memperkuat fundamental ekonomi nasional. Kebijakan Bank Indonesia tetap
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi, mengelola defisit transaksi berjalan
yang sehat, serta menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, Bank Indonesia
akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, dan sistem
pembayaran, serta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian
inflasi dan defisit transaksi berjalan serta mendorong berlanjutnya reformasi
struktural untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Pengelolaan stabilitas
makroekonomi nasional di 2014 perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan
ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) serta
pemulihan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya dan tidak
merata. Di satu sisi pemulihan ekonomi AS semakin solid, sementara pemulihan
Eropa masih melambat. Di sisi lain, ekonomi Tiongkok juga dalam tren melambat,
sementara ekonomi Jepang masih dalam resesi. Pemulihan ekonomi global yang
melambat tersebut, yang disertai dengan penurunan harga minyak dunia seiring
dengan melimpahnya pasokan minyak khususnya dari AS, pada gilirannya mendorong
penurunan harga komoditas dunia secara signifikan. Meningkatnya ketidakpastian
normalisasi kebijakan moneter the Fed, terutama di paruh kedua 2014, yang
disertai dengan penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia juga semakin
meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk
Indonesia. Ke depan, pemulihan ekonomi negara maju, khususnya AS, diperkirakan
akan terus berlanjut di 2015 sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi
Indonesia dari jalur perdagangan. Namun, sejumlah risiko eksternal masih akan
menjadi tantangan bagi stabilitas makroekonomi nasional di 2015, khususnya
tingginya volatilitas pasar keuangan global sejalan dengan kemungkinan kenaikan
suku bunga Fed Fund Rate di AS dan anjloknya harga komoditas dunia.
Sejalan dengan perlambatan
ekonomi global dan kebijakan stabilisasi ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi
domestik melambat pada tahun 2014. Perekonomian Indonesia tahun 2014
diprakirakan tumbuh sebesar 5,1%, melambat dibandingkan dengan 5,8% pada tahun
sebelumnya. Dari sisi eksternal, perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh
ekspor yang menurun akibat turunnya permintaan dan harga komoditas global,
serta adanya kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Meskipun ekspor secara
keseluruhan menurun, ekspor manufaktur cenderung membaik sejalan dengan
berlanjutnya pemulihan AS. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan tersebut
didorong oleh terbatasnya konsumsi pemerintah seiring dengan program
penghematan anggaran. Sementara itu, kegiatan investasi juga masih tumbuh
terbatas. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi terutama ditopang
oleh konsumsi rumah tangga yang tetap solid. Pada tahun 2015, pertumbuhan
ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi, yaitu tumbuh pada kisaran 5,4-5,8%.
Berbeda dengan 2014, di samping tetap kuatnya konsumsi rumah tangga, tingginya
pertumbuhan ekonomi di 2015 juga akan didukung oleh ekspansi konsumsi dan
investasi pemerintah sejalan dengan peningkatan kapasitas fiskal untuk
mendukung kegiatan ekonomi produktif, termasuk pembangunan infrastruktur.
Di tengah dinamika
perekonomian global, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2014 membaik
seiring dengan kebijakan stabilisasi yang dilakukan secara konsisten. Defisit
transaksi berjalan diperkirakan menurun dari tahun sebelumnya. Penurunan
tersebut di dukung oleh perbaikan ekspor manufaktur dan penurunan impor sejalan
dengan permintaan domestik yang melemah, pergerakan nilai tukar rupiah sesuai
dengan nilai fundamentalnya, dan penurunan harga minyak. Sementara itu,
transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang cukup besar, ditopang oleh
pertumbuhan positif investasi langsung (FDI) dan portofolio. Hal itu seiring
dengan persepsi positif terhadap prospek ekonomi Indonesia dan imbal hasil yang
tetap menarik. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir
Desember 2014 meningkat menjadi sebesar 111,9 miliar dolar AS atau setara
dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah, di atas
standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit neraca
transaksi berjalan diprakirakan tetap membaik. Turunnya harga minyak dunia dan
reformasi subsidi Pemerintah akan memperbaiki defisit transaksi berjalan migas,
walaupun meningkatnya impor nonmigas terkait dengan proyek Pemerintah di bidang
infrastruktur agak menahan perbaikan defisit transaksi berjalan. Di sisi
transaksi modal dan finansial, membaiknya fundamental ekonomi sejalan dengan
reformasi struktural yang terus berlangsung mendorong arus modal masuk, baik FDI
maupun investasi portfolio, yang diprakirakan masih cukup memadai bagi
pembiayaan defisit transaksi berjalan.
Nilai tukar Rupiah di 2014
mengalami depresiasi terhadap dolar AS namun mencatat apresiasi terhadap mata
uang mitra dagang utama lainnya. Depresiasi Rupiah terhadap dolar AS terjadi
pada triwulan IV-2014 dikarenakan kuatnya apresiasi dolar AS terhadap hampir
seluruh mata uang utama sejalan dengan rilis data perbaikan ekonomi AS dan
rencana kenaikan suku bunga Fed Fund Rate. Terhadap dolar AS, Rupiah secara
point-to-point melemah 1,74% (yoy) selama tahun 2014 ke level Rp12.385 per
dolar AS. Sementara itu, terhadap mata uang lainnya termasuk Yen Jepang, dan
Euro, Rupiah mengalami apresiasi yang cukup tinggi, walaupun masih cukup
kompetitif dibandingkan dengan negara mitra dagang. Bank Indonesia terus
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya
sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke
arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Inflasi pada tahun 2014
tetap terkendali di tengah tekanan yang tinggi dari administered prices
dan volatile food. Inflasi 2014 tercatat 8,36% (yoy), lebih rendah dari
8,38% pada tahun sebelumnya dan berada di atas sasaran inflasi yang telah
ditetapkan 4,5±1%. Kenaikan inflasi terutama disebabkan pengaruh kenaikan harga
BBM bersubsidi dan dampak gejolak harga pangan domestik pada akhir tahun 2014.
Kenaikan harga BBM bersubsidi telah mendorong kenaikan harga-harga, baik oleh
dampak langsung maupun dampak lanjutan (second round effect). Selain
BBM, penyesuaian harga barang administered lainnya juga terjadi sepanjang 2014,
seperti TTL dan LPG. Namun, inflasi inti tetap terkendali 4,93%(yoy). Hal ini
tidak terlepas dari peran kebijakan Bank Indonesia dalam mengelola permintaan
domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi inflasi,
serta semakin baiknya koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara Bank
Indonesia dan Pemerintah. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap
terkendali dalam kisaran sasaran 4±1% pada tahun 2015, didukung oleh
terkendalinya inflasi inti dan menurunnya harga minyak dunia yang diperkirakan
akan memberikan sumbangan deflasi. Untuk memperkuat pencapaian sasaran inflasi
tersebut, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah
Pusat, dan Pemerintah Daerah melalui TPI dan TPID, baik dalam mengendalikan
inflasi pangan dan administered prices.
Stabilitas sistem keuangan
tetap terkendali, ditopang oleh ketahanan perbankan yang tetap terjaga dan kinerja
pasar keuangan yang membaik di 2014. Ketahanan industri perbankan tetap kuat
dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan
modal yang kuat. Pada November 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%,
sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah
dan stabil di kisaran 2,0%. Pertumbuhan kredit diprakirakan sebesar 11,9% (yoy)
pada November 2014, lebih rendah dari pertumbuhan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 22,2%(yoy). Bank Indonesia menilai perlambatan kredit
tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu,
pertumbuhan DPK pada November 2014 tercatat sebesar 13,8% (yoy) relatif tidak
berubah dari tahun lalu. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan membaik
seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang lebih ekspansif. Kedepan,
sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan DPK dan kredit
diperkirakan akan meningkat sehingga mencapai, masing-masing, sebesar 14-16%
dan 15-17%. Sementara itu, kinerja pasar modal juga membaik, tercermin pada
IHSG yang meningkat 22,3% dibandingkan tahun lalu. Di sisi lain, yield
SBN menunjukkan penurunan.
Ke depan, kebijakan Bank
Indonesia pada tahun 2015 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan
di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Di bidang moneter,
kebijakan akan tetap secara konsisten diarahkan untuk mengendalikan inflasi
menuju sasarannya dan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sehat, melalui
kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya.
Di bidang makroprudensial, relaksasi ketentuan makroprudensial akan dilakukan
secara selektif guna memperluas sumber-sumber pendanaan bagi perbankan
sekaligus mendukung pendalaman pasar keuangan dan mendorong penyaluran kredit
ke sektor-sektor produktif yang prioritas. Sementara itu, di bidang sistem
pembayaran, kebijakan diarahkan untuk mengembangkan industri sistem pembayaran
domestik yang lebih efisien. Berbagai kebijakan tersebut akan disertai dengan
peningkatan koordinasi dengan Pemerintah dan institusi terkait sehingga
stabilitas makroekonomi tetap terjaga, dengan struktur perekonomian yang
semakin kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Gubernur
Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menjelaskan kebijakan moneter ketat
yang diambil oleh bank sentral saat ini telah mempertimbangkan berbagai
indikator makroekonomi, tak terkecuali pergerakan rupiah. Otoritas moneter
masih akan mempertahankan kebijakan itu sampai inflasi dan neraca transaksi
berjalan membaik.
"Kami ingin sampaikan bahwa kondisi (moneter) ketat yang sekarang ada, itu belum (akan) dilonggarkan apabila inflasi dan perkembangan (neraca) transaksi berjalan tidak mengarah ke kondisi yang baik," ujar Agus di Kantor Kepresidenan, Rabu (11/3) malam.
Mantan Menteri Keuangan itu mengklaim fundamental ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang lain. Hal itu tercermin dari aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air, terutama ke pasar obligasi negara.
"Pada tahun 2014, dana yang mengalir masuk ke Indonesia, untuk modal asing ke pasar surat berharga, itu sampai awal Maret itu ada Rp 47 trilun," tuturnya.
BI mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah melemah 5,7 persen sejak awal Januari hingga saat ini. Pelemahan tersebut lebih baik dibandingkan kejatuhan mata uang negara berkembang lain, seperti Brazil, India, dan Afrika Selatan.
"Year to date sampai Maret ini itu rupiah terdepresiasi 57 persen, tapi itu India (negatif) 16 persen dan Turki (minus) 17 persen, dan negara-negara Asean perkembangan pelemahan nilai tukar kita juga tidak lebih buruk dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura," jelasnya.
Agus
melihat laju inflasi sudah pada jalur yang melandai dan diyakini akan mendekati
4 persen pada 2016.
PERKETATAN KEBIJAKAN MONETER
Mengantisipasi
kenaikkan suku bunga The Fed, Fed Funds Rate (FFR) yang rencananya akan
dilakukan pada pertengahan 2015, Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kebijakan
moneter ketat dan melakukan pembenahan struktural.
“Kita nggak bisa harus melawan potensi capital outflow karena dolar akan kembali ke sekuritas-sekuritas dengan mata uang Amerika yang kuat. Makanya, kita mengupayakan supaya pelaku pasar itu confidence bahwa BI pemerintah bisa menangani ini dengan baik,” kata Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial BI Dwitya Poetra, kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/4).
Ditegaskannya, BI memiliki kebijakan moneter dan makro prudensial yang cenderung ketat. Dalam hal ini, ungkapnya, BI akan menjaga supaya intereset rate diferensial dari suku bunga rupiah dan dolar AS bisa tetap menarik sehingga investor tidak punya motivasi untuk keluar dari Indonesia.
Kemudian, lanjut dia, dari sisi pemerintah, rasa percaya diri telah ditunjukkan dengan melakukan rencana dan program perbaikan struktur, misalnya, perbaikan infrastruktur yang terkait dengan penciptaan sektor industri yang berorientasi ekspor. “Langkah ini agar tetap menjaga supaya investor dan pelaku bisnis asing di Indonesia tetap kerasan berinvestasi di Indonesia, makanya paket kebijakan dibuat,” tuturnya.
Untuk antisipasi jangka pendek, ungkap Dwitya, yang dibutuhkan adalah bagaimana pemerintah bisa menjaga kepercayaan investor. Dari sisi kebijakan moneter, sambungnya, BI tetap concern terhadap upaya menjaga defisit, inflasi, serta mendorong sektor-sektor produktif agar terus berkembang.
Selain itu, kata Dwitya melanjutkan, BI juga berupaya menjaga kondisi supply dan demand di pasar valas agar tidak terpengaruh dari interaksi politik. “Kalau isu politik bisa diperbaiki dengan baik, misalnya, persoalan Polri dan KPK, mungkin akan berdampak positif kepada investor asing,” tuturnya.
Apalagi,
menurutnya, indikator makro ekonomi Indonesia relatif baik. “Posisi produk
domestik bruto (PDB) masih 5,19, laju inflasi 6,5, kondisi perbankan stabil,
memang karena akun defisitnya saja yang 3,11 persen, tapi sebetulnya faktor
makro ekonominya tidak terlalu berat,” tuturnya. n ed: nidia zuraya.
REFERENSI
http://safitrifitrieka.blogspot.com/2012/04/terjadinya-krisis-moneter.html
http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
http://almareza-almareza.blogspot.com/2010/10/krisis-ekonomi-1997-1998-indonesia.html
http://akbarprakoso.blogspot.com/2012/04/krisis-ekonomi-penyebab-dan-usaha.html
Note
Artikel ini adalah tugasPerekonomian Indonesia
Note
Artikel ini adalah tugasPerekonomian Indonesia
0 Comments:
Posting Komentar